
Potret Retak dari Sebuah Gerakan yang Tak Pernah Dilahirkan
Jika logika adalah kereta, maka Semar adalah batu kerikil di relnya
Dalam suatu ruang terbuka di tengah senyapnya malam tropis, saya mengalami apa yang mungkin merupakan artikulasi terdalam dari realitas akustik. Gamelan, bukan dalam bentuknya yang musikal, melainkan sebagai entitas spasial yang melipat ruang pendengaran dan menciptakan wilayah baru antara gelombang dan gema.
Tulisan ini adalah upaya mengurai pertemuan tersebut, melalui pendekatan resonansi diferensial dan pengembaraan sonik dalam kepala manusia.
Pendengaran manusia, dalam kejujurannya yang tersembunyi, bukanlah reseptor pasif. Ia adalah pemancar, sebuah sonar internal. Maka, ketika saya mendengar suara yang tidak berasal dari luar, tetapi berkumpul di tengah tengkorak saya, saya tahu saya sedang menghadapi sesuatu yang belum memiliki notasi.
Instrumen-instrumen dalam gamelan tidak mencoba menyatu; mereka saling melengkung. Setiap gong, kenong, dan saron membentuk garis paralel frekuensi yang tidak pernah bertemu kecuali dalam ruang psikoakustik imajiner. Inilah ruang di mana dua suara menghasilkan suara ketiga yang tidak dimainkan oleh siapapun—sebuah fenomena yang saya sebut: bunyi hantu longitudinal.
Ketika suara tidak hanya memasuki telinga tapi juga tulang pipi dan dada, maka tubuh menjadi bagian dari ansambel. Pada momen-momen tertentu, saya merasakan suara gong besar menggetarkan sternum saya, bukan sebagai getaran, tapi sebagai kehadiran. Eksperimen awal dengan medium dummy head menunjukkan bahwa suara gamelan tidak terekam secara benar kecuali ada kesadaran terhadap tubuh sebagai ruang pantul. Rekaman biasa hanya menghasilkan tiruan, bukan peristiwa.
Alih-alih akurasi, gamelan merayakan penyimpangan. Justru dalam ketidakcocokan itulah muncul fluktuasi amplitudo—fenomena binaural alami—yang menyebabkan ilusi gerakan sonik dalam ruang. Ini bukan kesalahan sistem nada, melainkan sistem navigasi spasial.
Saya menyebut ini: kompas akustik non-Kartesian.
Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa gamelan adalah telinga itu sendiri, sebuah sistem yang mendengar dirinya sambil memantulkan dunia. Siapa memainkan siapa menjadi pertanyaan yang tak relevan. Dalam struktur ini, suara tidak lagi menjadi objek, tapi medium transendensi.
Saya menyarankan agar pendekatan baru terhadap rekaman binaural mengadopsi prinsip-prinsip gamelan:
Asimetri berulang,
Detuning terkontrol,
Sumber bunyi multipel yang tidak bersatu dalam fase.
Karena mungkin, di sinilah letak kebenaran suara: bukan di dalam telinga, tapi di antara suara-suara yang saling tidak cocok.
“Gamelan tidak berbunyi ke luar—ia bergetar ke dalam. Ia tidak mengisi ruang, ia melipatnya. Dan di lipatan itu, pendengaran bukan lagi alat… tapi peristiwa.”
Tulis, kirim & share berita / artikelmu dimana-pun, kapan-pun, berapa-pun di Kalacemeti Archive.
Jika logika adalah kereta, maka Semar adalah batu kerikil di relnya
Jika batik bisa bernapas, ia akan mengigau dalam pola kawung.
Tentang Fenomena Interferensi Akustik Dalam Sebuah Ansambel Tanpa Titik Tengah