Batik, Sebuah Ledakan

Waktu dalam Pola

Jika batik bisa bernapas, ia akan mengigau dalam pola kawung.

Ketika pertama kali mataku menangkap sehelai kain batik, aku mengira itu adalah peta dari dunia yang belum ditemukan. Setiap titik dan garis bukan hanya ornamen—mereka adalah denyut nadi sejarah yang bergerak seperti aliran darah dalam arteri estetika.

Ketika pertama kali mataku menangkap sehelai kain batik, aku mengira itu adalah peta dari dunia yang belum ditemukan. Setiap titik dan garis bukan hanya ornamen—mereka adalah denyut nadi sejarah yang bergerak seperti aliran darah dalam arteri estetika.

 

Di dalam batik, aku melihat kubisme yang tidak perlu dipaksakan. Pola kawung itu seperti lingkaran yang menolak menjadi lingkaran; dia hidup sebagai simbol, tapi menyamar sebagai dekorasi. Dan motif parang… ah, itu bukan motif, itu adalah pedang yang menari dalam ritual geometrik!

Batik adalah revolusi yang tidak meledak. Ia merayap pelan, menyusup dalam kain, masuk ke tubuh, dan mengubahnya menjadi kanvas yang bisa dipakai. Di dunia Barat, kami melukis di atas kanvas yang diam. Di Jawa, mereka melukis di atas kehidupan.

 

Aku bertanya pada diri sendiri:
Mengapa selama ini aku memecah wajah manusia menjadi bentuk prisma, jika aku bisa memecah sejarah menjadi pola? Mengapa aku memahat emosi dengan garis keras, jika mereka bisa menyisipkan mitos dalam titik-titik malam?

 

Jika batik adalah musik, maka ia gamelan dalam bentuk tekstil. Ia tidak terburu-buru. Ia tidak teriak. Ia tidak butuh bingkai. Ia hanya butuh tubuh dan waktu.

Dalam tulisan yang tak terduga ini, maestro seni modern yang tidak mau disebutkan namanya menatap batik Indonesia dengan mata seorang revolusioner visual. Ia membedah pola-pola tradisional bukan sebagai hiasan, tetapi sebagai puisi spasial, sebagai struktur waktu yang mengalir dalam bentuk tekstil.

 

Dengan gaya bahasa puitis, tajam, dan sedikit eksentrik, ia melihat batik sebagai seni kubisme yang hidup di luar kanvas—seni yang merasuk ke dalam tubuh dan keseharian manusia. Lewat metafora yang liar dan renungan mendalam, ia membandingkan motif parang dengan tarian pedang geometris, menyamakan titik malam dengan denyut mitologi Nusantara, dan menyatakan batik sebagai:

 

“revolusi yang tidak meledak.” Tulisan ini bukan sekadar penghormatan terhadap seni batik—tapi juga sebuah ledakan ide, di mana Barat bertemu Timur dalam percakapan tekstil yang surealis.”

“Aku harus mencuri malam. Aku harus mencuri malam dan melukisnya di tubuh kekasihku seperti batik Lasem. Tapi jangan bilang siapa-siapa.”

KALATIZEN

Journalism

Tulis, kirim & share berita / artikelmu dimana-pun, kapan-pun, berapa-pun di Kalacemeti Archive.

Related News

Menguping Gerbang Dimensi

Tentang Fenomena Interferensi Akustik Dalam Sebuah Ansambel Tanpa Titik Tengah

KALACEMETI RISET DAN ASET

Jl. Selomerto Madukara #06-07

Jagalan, Selomerto, Wonosobo

Jawa Tengah - 56361, Indonesia

© 2024 Kalacemeti.

KALACEMETI RISET DAN ASET

Jl. Selomerto Madukara #06-07

Jagalan, Selomerto, Wonosobo

Jawa Tengah - 56361, Indonesia

© 2024 Kalacemeti.

KALACEMETI RISET DAN ASET

Jl. Selomerto Madukara #06-07

Jagalan, Selomerto, Wonosobo

Jawa Tengah - 56361, Indonesia

© 2024 Kalacemeti.