
Menari dengan Mayat
Nyanyian Terakhir Tradisi Ma’nene
Di tengah lekuk-lekuk tanah basah Wonosobo, jauh dari hingar bingar digital dan kekacauan industri dan investasi, hidup sebuah instrumen yang dilupakan.
Bundengan, dibuat dari anyaman pelepah daun kelapa, inilah suara zaman yang menolak punah. Ia bukan sekadar alat musik. Ia adalah saksi bisu—tentang hujan yang tak pernah berhenti, tentang petani yang memelihara bebek dan kehilangan dirinya dalam sepotong lagu yang tak pernah direkam.
Saat bundengan dimainkan, ada suara-suara yang tak tertulis di partitur manapun, yakni tangisan tanah yang lelah, bisikan angin dari pegunungan yang mendesah, dan jiwa-jiwa tua yang menari di bawah purnama dan pekatnya kabut.
Ironis, instrumen ini lahir dari rakyat yang justru sering diabaikan. Dibentuk dari kehidupan keras, tapi menghasilkan harmoni yang lembut. Dunia memuja kebisingan, tapi bundengan menyimpan kekuatan dalam keheningan.
Komunal datang—katanya ingin “melestarikan”. Tapi seperti biasa, pelestarian hanyalah nama lain dari pengarsipan. Sementara para pemain bundengan sejati perlahan mati satu per satu, suara mereka menghilang ke waktu, kabut, dan debu yang enggan diingat.
“Music is not just about sound. It’s about what it leaves behind when the sound is gone.”
Di kaki gunung yang basah dan tua, ada suara yang tak dicari siapa-siapa, dari pelepah kelapa, dari luka, dari napas petani, bernyanyilah bundengan yang sunyi yang abadi.
Bukan panggung, bukan sorak. Cuma lumpur, dan suara bebek yang tak kunjung pulang. Ini suara jiwa yang nyaris padam ditelan waktu, dikubur diam. Bukan lagu untuk didengar, tapi untuk dikenang setelah tiada.
Tangan keriput menari di senar yang lapuk, hanya tiupan angin yang sudi menyambut. Karena dunia hanya mau yang bersinar, dan bundengan terlalu jujur untuk dibayar. Budaya dikunci di museum, sementara pemainnya mati dalam sunyi yang ranum.
Ini suara jiwa yang nyaris padam ditelan waktu, dikubur diam. Bukan lagu untuk didengar, tapi untuk dikenang setelah tiada.
Mereka bilang: “Kami peduli”
Tapi, tak tahu cara memeluk yang sekarat. Bundengan bukan benda, Ia adalah jiwa yang merintih pelan dibalik serat pelepah kelapa.
Jika kau dengar suaranya malam ini, itu bukan lagu melankoli, Itu doa lantunan dari tanah yang dilupakan.
Tulis, kirim & share berita / artikelmu dimana-pun, kapan-pun, berapa-pun di Kalacemeti Archive.
Lengger, Ritual Mistis di Kabupaten Wonosobo
Elegi bundengan di tengah kabut malam