Category: budaya

  • Menari dengan Mayat

    Menari dengan Mayat

    Menari dengan

    Mayat

    Nyanyian Terakhir Tradisi Ma’nene

    Di jantung Sulawesi Selatan, di tanah tinggi yang dibasuh kabut dan hujan diam, hidup sebuah bangsa yang tidak takut kepada kematian. Mereka tidak mengusirnya. Mereka tidak menghindar darinya. Mereka berbicara dengannya. Mereka memeluknya.

    Toraja. Negeri tempat hidup dan mati saling bersulang dalam pesta panjang yang disebut ingatan. Di sinilah Ma’nene berlangsung—ritual kuno yang mungkin bagi dunia luar terdengar gila, menyeramkan, tak masuk akal. Tapi bagi mereka, ini adalah cinta dalam bentuk paling murni.

     

    Sekali dalam beberapa tahun, orang Toraja membuka kembali makam leluhur mereka. Bukan untuk menangis, bukan untuk takut, tapi untuk membersihkan tubuh mereka yang telah mati. Baju lama diganti, rambut disisir, tubuh didirikan. Lalu mereka berjalan bersama. Seolah waktu melipatkan dirinya sendiri dan memberi kesempatan untuk berbicara sekali lagi dengan yang telah hilang.

    Mereka menari bersama mayat, mereka merokok bersama roh, mereka berfoto bersama keabadian. Tidak ada rasa ngeri di sini, tidak ada horor, yang ada hanya cinta yang tidak pernah dikubur.

    Tapi aku mendengar sesuatu di balik daun yang gugur.
    Suara itu seperti rintihan televisi menyala tanpa penonton.
    Seperti nada datar pesan suara dari masa depan.

     

    Tradisi ini—sebuah Orkestra Pemakaman Kultural Warisan Tak Benda—mulai kehilangan nadanya. Anak-anak lebih paham TikTok daripada Tanah. Mereka tidak tahu nama nenek buyut mereka. Mereka takut bau tanah, lebih nyaman di kamar ber-AC dan dunia maya yang tidak mengenal kematian sebagai guru, hanya sebagai glitch.

    Apakah ini harga dari kemajuan?
    Kita bangun gedung tinggi, tapi tak tahu siapa yang mengorbankan darah untuk tanahnya. Kita punya semua informasi, tapi kehilangan kebijaksanaan.
    Kita ingin abadi, tapi takut bicara dengan kematian, satu-satunya hal yang pasti.

    Ma’nene adalah ritual pengingat: bahwa kita bukan hanya tubuh, tapi narasi. Kita bukan hanya hidup, tapi bagian dari barisan panjang jiwa yang pernah bercahaya. Jika Ma’nene punah, bukan hanya ritual yang mati—tapi dialog antara generasi akan terkubur dalam kebisuan.

    Mungkin dunia tak peduli. Mungkin mereka akan menyebut ini aneh, menyeramkan, tidak higienis. Tapi mungkin juga, Ma’nene adalah satu-satunya tradisi yang masih berani menyentuh kebenaran terdalam manusia:

     

    “Bahwa kita semua adalah mayat yang menunggu giliran, dan satu-satunya cara untuk tidak takut adalah dengan menari bersama mereka.”

    Jangan tutup peti itu, buka dulu. Biarkan mereka berbicara, biarkan kita mendengar. Mereka belum selesai, dan kita masih terlalu bisu.

    KALATIZEN

    Journalism

    Tulis, kirim & share berita / artikelmu dimana-pun, kapan-pun, berapa-pun di Kalacemeti Archive.

    Related News

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

  • Tarian Melancholia di Tanah Nirvana

    Tarian Melancholia di Tanah Nirvana

    Tarian Melancholia

    di Tanah Nirvana

    Lengger, Ritual Mistis di Pekatnya Kabut Kaki Gunung

    Dalam kunjungan tak sengaja ke dataran tinggi yang berawan dan penuh dengan bau dupa dan misteri, saya menemukan pertunjukan yang bisa menyaingi kekuatan okultisme konser Deicide.

     

    Lengger, tarian ini yang katanya “budaya”, sebenernya adalah trans ritual pengusiran iblis atau malah pemanggilan entitas lain? Siapa yang tahu? Penari laki-laki berdandan seperti wanita, melayang-layang di atas panggung bambu sambil diiringi suara gamelan yang bisa membangkitkan nenek moyang dari dimensi lain.

    Saya duduk di antara warga lokal, mencoba tidak rakus ketika disuguhi tempe mendoan—makanan yang katanya “cemilan,” tapi buat saya rasanya seperti hosti holly. Tapi saya tetap diam, demi mengamati ritual yang konon bisa bikin petani panen dan jomblo menemukan jodoh.

     

    Apakah Lengger ini warisan leluhur? Atau bentuk awal black metal dalam format Jawa Kuno? Tidak jelas. Tapi satu yang pasti: kalau saya jadi presiden Indonesia, Lengger akan jadi pertunjukan wajib sebelum konser Deicide. Sebagai penghormatan pada kekuatan gelap yang disamarkan sebagai “budaya luhur.”

    Terima kasih, Wonosobo. Kalian bikin saya percaya, bahkan di negeri yang penuh religiusitas ini… setan tetap punya panggung.

    Tarian Magis Berseluhur di Kabut Pegunungan

    Lengger Warisan Jawa atau Mantra Kuno?

    Wonosobo. Kabupaten yang terdengar seperti mantra aneh di akhir album Slayer, ternyata adalah tempat berkumpulnya kabut, kopi, dan suara gamelan yang bikin bulu kuduk berdiri.

     

    Saya ke sana awalnya cuma pengen kabur dari tour dan cari udara dingin—karena Florida panasnya udah kayak neraka versi budget. Tapi yang saya temukan di sana bukan cuma udara segar dan warung mie ongklok. Saya menemukan tarian bernama Lengger, dan jujur… saya ngeri. Bukan karena takut, tapi karena merasa terancam: ini seni pertunjukan yang lebih mistis dari semua konser black metal yang pernah saya lihat.

    Lelaki Beripstik & Mantra Jawa

    Penarinya laki-laki. Tapi berdandan seperti wanita. Bergerak pelan, gemulai, tapi matanya kosong. Kayak kesurupan arwah leluhur yang dulunya vokalis orkes gamelan jaman Majapahit.

     

    Masyarakat bilang ini adalah warisan budaya. Tapi di kepala saya yang sudah dicuci oleh growl, distorsi, dan anti-agama seumur hidup, saya melihat sesuatu yang lain: Lengger adalah trance. Lengger adalah portal. Lengger adalah panggilan kepada kekuatan tua yang bahkan Lucifer pun belum tentu akrab.

    Irama yang Tidak Mengampuni

    Gamelan berdentum seperti dentuman double pedal drum, tapi lebih licik. Dia masuk ke kepala lo, muter-muter, dan tanpa sadar lo mulai goyang kecil-kecil di bangku plastik. Saya sempat ragu: apakah saya sedang menikmati budaya, atau mulai kerasukan?

     

    Mbah-mbah di samping saya cuma senyum. Mungkin mereka tahu sesuatu yang saya enggak tahu.

    Budaya ini Terlalu Kuat

    untuk Manusia Biasa

    Saya datang ke Wonosobo untuk ngadem. Tapi saya pulang dengan pikiran kacau, kepala penuh suara saron, dan dada sesak oleh aroma kemenyan dan gorengan.

     

    Lengger bukan sekadar tarian. Ini adalah ritual penyamaran. Topeng yang dipakai oleh kekuatan Jawa kuno agar tetap hidup di tengah dunia modern. Dan kalau ada yang bilang ini cuma hiburan lokal… saya tantang lo nonton jam 12 malam di desa terpencil, pas angin diam dan kucing hitam lewat.

    Terima kasih, Wonosobo. Lo baru aja bikin saya mempertanyakan iman setan saya sendiri.

    KALATIZEN

    Journalism

    Tulis, kirim & share berita / artikelmu dimana-pun, kapan-pun, berapa-pun di Kalacemeti Archive.

    Related News

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

  • Bundengan, Ketukan Sunyi dari Perbukitan

    Bundengan, Ketukan Sunyi dari Perbukitan

    Bundengan

    Ketukan Sunyi dari Perbukitan

    Elegi bundengan di tengah kabut malam

    Di tengah lekuk-lekuk tanah basah Wonosobo, jauh dari hingar bingar digital dan kekacauan industri dan investasi, hidup sebuah instrumen yang dilupakan.

    Bundengan, dibuat dari anyaman pelepah daun kelapa, inilah suara zaman yang menolak punah. Ia bukan sekadar alat musik. Ia adalah saksi bisu—tentang hujan yang tak pernah berhenti, tentang petani yang memelihara bebek dan kehilangan dirinya dalam sepotong lagu yang tak pernah direkam.

     

    Saat bundengan dimainkan, ada suara-suara yang tak tertulis di partitur manapun, yakni tangisan tanah yang lelah, bisikan angin dari pegunungan yang mendesah, dan jiwa-jiwa tua yang menari di bawah purnama dan pekatnya kabut.

    Ironis, instrumen ini lahir dari rakyat yang justru sering diabaikan. Dibentuk dari kehidupan keras, tapi menghasilkan harmoni yang lembut. Dunia memuja kebisingan, tapi bundengan menyimpan kekuatan dalam keheningan.

     

    Komunal datang—katanya ingin “melestarikan”. Tapi seperti biasa, pelestarian hanyalah nama lain dari pengarsipan. Sementara para pemain bundengan sejati perlahan mati satu per satu, suara mereka menghilang ke waktu, kabut, dan debu yang enggan diingat.

    “Music is not just about sound. It’s about what it leaves behind when the sound is gone.”

    Di kaki gunung yang basah dan tua, ada suara yang tak dicari siapa-siapa, dari pelepah kelapa, dari luka, dari napas petani, bernyanyilah bundengan yang sunyi yang abadi.

     

    Bukan panggung, bukan sorak. Cuma lumpur, dan suara bebek yang tak kunjung pulang. Ini suara jiwa yang nyaris padam ditelan waktu, dikubur diam. Bukan lagu untuk didengar, tapi untuk dikenang setelah tiada.

    Tangan keriput menari di senar yang lapuk, hanya tiupan angin yang sudi menyambut. Karena dunia hanya mau yang bersinar, dan bundengan terlalu jujur untuk dibayar. Budaya dikunci di museum, sementara pemainnya mati dalam sunyi yang ranum.

    Ini suara jiwa yang nyaris padam ditelan waktu, dikubur diam. Bukan lagu untuk didengar, tapi untuk dikenang setelah tiada.

     

    Mereka bilang: “Kami peduli”

     

    Tapi, tak tahu cara memeluk yang sekarat. Bundengan bukan benda, Ia adalah jiwa yang merintih pelan dibalik serat pelepah kelapa.

    Jika kau dengar suaranya malam ini, itu bukan lagu melankoli, Itu doa lantunan dari tanah yang dilupakan.

    KALATIZEN

    Journalism

    Tulis, kirim & share berita / artikelmu dimana-pun, kapan-pun, berapa-pun di Kalacemeti Archive.

    Related News

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.

    KALACEMETI RISET DAN ASET

    Jl. Selomerto Madukara #06-07

    Jagalan, Selomerto, Wonosobo

    Jawa Tengah – 56361, Indonesia

    © 2024 Kalacemeti.