


- Indonesia
- Jawa
- English
- 日本語
- 한국어
- 中文
- عربي
- Dutch
- Deutsch
- Россия
- แบบไทย
- Tiếng Việt
- हिंदी
- Ελλάδα
- Монгол
- Türkiye
- Tagalog
- Français
- Español
- Português
- Norge
- Sverige
- Suomi
- Italiano
- România
- Latinus
- ខ្មែរ
- Հայաստան
- ქართული
- magyarország
- қазақтар
- íslenskur
- o’zbek
- עִברִית
- Indonesia
- Jawa
- English
- 日本語
- 한국어
- 中文
- عربي
- Dutch
- Deutsch
- Россия
- แบบไทย
- Tiếng Việt
- हिंदी
- Ελλάδα
- Монгол
- Türkiye
- Tagalog
- Français
- Español
- Português
- Norge
- Sverige
- Suomi
- Italiano
- România
- Latinus
- ខ្មែរ
- Հայաստան
- ქართული
- magyarország
- қазақтар
- íslenskur
- o’zbek
- עִברִית

Di jantung Sulawesi Selatan, di tanah tinggi yang dibasuh kabut dan hujan diam, hidup sebuah bangsa yang tidak takut kepada kematian. Mereka tidak mengusirnya. Mereka tidak menghindar darinya. Mereka berbicara dengannya. Mereka memeluknya.

Toraja. Negeri tempat hidup dan mati saling bersulang dalam pesta panjang yang disebut ingatan. Di sinilah Ma’nene berlangsung—ritual kuno yang mungkin bagi dunia luar terdengar gila, menyeramkan, tak masuk akal. Tapi bagi mereka, ini adalah cinta dalam bentuk paling murni.
Sekali dalam beberapa tahun, orang Toraja membuka kembali makam leluhur mereka. Bukan untuk menangis, bukan untuk takut, tapi untuk membersihkan tubuh mereka yang telah mati. Baju lama diganti, rambut disisir, tubuh didirikan. Lalu mereka berjalan bersama. Seolah waktu melipatkan dirinya sendiri dan memberi kesempatan untuk berbicara sekali lagi dengan yang telah hilang.
Mereka menari bersama mayat, mereka merokok bersama roh, mereka berfoto bersama keabadian. Tidak ada rasa ngeri di sini, tidak ada horor, yang ada hanya cinta yang tidak pernah dikubur.

Tapi aku mendengar sesuatu di balik daun yang gugur.
Suara itu seperti rintihan televisi menyala tanpa penonton.
Seperti nada datar pesan suara dari masa depan.
Tradisi ini—sebuah Orkestra Pemakaman Kultural Warisan Tak Benda—mulai kehilangan nadanya. Anak-anak lebih paham TikTok daripada Tanah. Mereka tidak tahu nama nenek buyut mereka. Mereka takut bau tanah, lebih nyaman di kamar ber-AC dan dunia maya yang tidak mengenal kematian sebagai guru, hanya sebagai glitch.

Apakah ini harga dari kemajuan?
Kita bangun gedung tinggi, tapi tak tahu siapa yang mengorbankan darah untuk tanahnya. Kita punya semua informasi, tapi kehilangan kebijaksanaan.
Kita ingin abadi, tapi takut bicara dengan kematian, satu-satunya hal yang pasti.
Ma’nene adalah ritual pengingat: bahwa kita bukan hanya tubuh, tapi narasi. Kita bukan hanya hidup, tapi bagian dari barisan panjang jiwa yang pernah bercahaya. Jika Ma’nene punah, bukan hanya ritual yang mati—tapi dialog antara generasi akan terkubur dalam kebisuan.

Mungkin dunia tak peduli. Mungkin mereka akan menyebut ini aneh, menyeramkan, tidak higienis. Tapi mungkin juga, Ma’nene adalah satu-satunya tradisi yang masih berani menyentuh kebenaran terdalam manusia:
“Bahwa kita semua adalah mayat yang menunggu giliran, dan satu-satunya cara untuk tidak takut adalah dengan menari bersama mereka.”
Jangan tutup peti itu, buka dulu. Biarkan mereka berbicara, biarkan kita mendengar. Mereka belum selesai, dan kita masih terlalu bisu.
KALATIZEN
Journalism
Tulis, kirim & share berita / artikelmu dimana-pun, kapan-pun, berapa-pun di Kalacemeti Archive.
Related News


Tarian Melancholia di Tanah Nirvana
Lengger, Ritual Mistis di Kabupaten Wonosobo

Bundengan, Ketukan Sunyi dari Perbukitan
Elegi bundengan di tengah kabut malam